Tinjauan Struktural Terhadap Buruh Perempuan 5 komentar


Ada 2 kerangka perspektif dalam membicarakan hak asasi dan nasib kaum buruh perempuan yaitu yang bersifar kondisional dan structural.

Analisis kondisional menyangkut analisi terhadap nasib kaum buruh keseluruhan . sedangkan yang structural menyangkut [ada posisi buruh perempuan dalam keseluruhan structural  formasi sosial yang ada, dan kedua-duanya tidak bisa dipisahkan. 

Posisi buruh dalam struktur Developmentalis.
Penganut paham developmentalism mendasarkan keyakinan mereka pada asumsi bahwa Negara maju yang menganut sistem kapitalisme adalah bentuk ideal dari sistem dan struktur masyarakat yang demokratis. Dalam developmentalism hubungan antar unsur masyarakat merupakan proses dalam suatu mekanisme yang saling berkaitan dan penuh kontradiksi antar berbagai unsur dalam sistem tersebut, sehingga ada dua kategori 2 unsur penting yaitu kelas dan nonkelas. Dalam sistem kapitalisme terjadi kesatuan dalam kontradiksi antar banyak unsur, baik dalam kelas maupun nonkelas. Sehingga dalam hubungan stuktural posisi buruh memang menjadi problematic, dan disinilah persoalannya dimana ideology dan teori yang dipakai oleh developmentalism tersebut tidak meletakkan buruh sebagai faktor utama dalam pembangunan, melainkan kaum wirausaha. Sehingga secara structural akan melahirkan konflik

Menuju Perubahan Posisi Buruh.
Persoalan kaum buruh adalah akibat dari posisi structural yang tidak menguntungkan antara kaum buruh sebagai suatu entitas dari masyarakat sipil berhadapan dengan keseluruhan sector dalam Negara, seperti pemerintah, universtas, media massa, dll. Artinya posisi buruh bergantug pada teori dan visi yang diterapkan dan mereka yang mendukung dan memperjuangkan agar teori dan visi tersebut dilanggengkan.Perjuangan yang harus dilakukan unutk mengubah kaum buruh yaitu dengan cara memberikan ruang kepada buruh unutk berorganisasi secara bebas, melakukan pendidikan kritis terhadapa posisis structural mereka sebagai kelompok actor sejarah dengan cara melibatkannya menyangkut nasib mereka.

Penulis : Ni’matun Hasanah

Daftar Pustaka
Mansour Fakih, 2010, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Analisis Gender dalam Gerakan Transformasi Perempuan 1 komentar

Di bab ke-2 dalam bukunya Mansour Faqih (Analisis Gender) dibuka dengan pernyataan bahwa penganut aliran sosial konflik melihat gender sebagai penyebab ketidakadilan struktur dan sistem. Namun hal tersebut terbantahkan dengan adanya kondisi (konteks) mengenai posisi perempuan utamanya dan kedudukan laki-laki. Tak ayal dari realita itu melahirkan empat dimensi gerakan dari struktur dan sistem ini (memgenai bentuk penyanggahan sebagai faktor utama) diantaranya:
Feminisme Liberal. Dalam lingkup sosial, kebebasan (freedom) dan kesamaan (equlity) berakar dari rasionlitas dan pemisahan antara dunia privat  dan public yang didalamnya ada hak perempuan dan laki-laki sehingga sisi pembedaan tidak ada. Perempuan pun adalah makhluk rasional, maka kalaupun perempuan terbelakang atau tertinggal, feminisme liberal beranggapan bahwa hal itu disebabkan kaum perempuan sendiri. Pemecahannya adalah menyiapkan kaum perempuan agar bisa bersaing dalam situasi dunia yang penuh dengan persaingan bebas. Sebagian usaha ini dapat dilihat dari pembangunan (Women in Development) dengan menyediakan “program intervensi guna meningkatkan taraf hidup keluarga spirit pendidikan, keterampilan “serta” kebijakan yang dapat meningkatkan kaum perempuan sehingga mampu berpartisipasi dalam pembangunan. Gerakan ini termasuk ke dalam paradigma fungsionalisme dalam feminisme.
Paradigma konflik dalam feminisme terbagi ke dalam beberapa bagian dalam tipe gerakannya. Kelompok Feminisme Radikal (diskriminasi sosial berdasarkan jenis kelamin) khususnya sangat penting dalam melawan kekerasan seksual dan pornografi (Brownmiller, 1976). Para penganut gerakan ini berpandangan bahwa penyebab penindasan berakar dari jenis kelamin laki-laki dan ideologi patriarki  (sistem hirarki seksual yang memiliki kekuasaan superior dan privilege ekonomi (Eisenstein, 1979)) baik dari sisi biologis maupun politik. Sehingga pengusaan fisik perempuan oleh laki-laki seperti hubungan seksual adalah bentuk penindasan (Jaggar, 1977).
Kedua, Feminisme Marxis yang berpandangan bahwa penindasan perempuan adalah bagian dari penindasan kelas dalam hubungan produksi yang diletakan dalam kerangka kritik atas kapitalisme walaupun Marx sendiri tidak menjelaskan posisi perempuan dalam perubahan sosial sehingga hubungan suami istri seperti hubungan antara proletar dan borjuis serta kemajuan masyarkat dapat diukur dari status perempuannya. Sedangkan Engels mengulas masalah ini dalam sejarah prakapitalisme. Dalam bukunya yang berjudul The Origin of Famly: Private Proverty and The State, Engels menjelaskan bahwa sejarah terpuruknya status perempuan bukan disebabkan oleh perubahan teknologi, melainkan perubahan dalam organisasi kekayaan. Maka penciptaan surplus adalah dasar munculnya private proverty yang menjadi dasar perdagangan dan produksi (iklan dari manipulasi kuasa laki-laki dalam politik produksi yang mereduksi perempuan) dan terlihat pada zaman kapitalisme. Penindasan perempuan merupakan kelanjutan dari sistem eksploitatif yang bersifat strktural kelas sebagai proses revolusi. Ternyata perjuangan perempuan itu masih panjang dalam hal pekerjaan domestik kecuali jika itu semua menjadi industri sosial dan dibawa ke ranah publik (Engels). Sehingga pekerjaan domestik itu mesti harus dihapuskan “bukan kewajiban perempuan semata tapi tanggungan bersama”
Penganut aliran feminisme ketiga adalah feminisme Sosialis. Aliran ini menurut (Jaggar, 1983) melakukan sintesa antarmetode historis materialistik Marx dan Engels dengan gagasan personal is political (kaum radikal). Bagi mereka penindasan perempuan terjadi di kelas manapun, dan tidak serta merta menaikkan posisi perempuan (pandangan ini lahir dari 2 tipe gerakan sebelumnya yang secara tidak langsung saling berkesinambungan atau simbiosis mutualisme) karena tanpa kesadaran kelas juga menimbulkan masalah (dari tipe Marx). Oleh karena itu kedua tipe sebelumnya perlu dikawinkan, dengan demikian kritik terhadap eksploitasi kelas dari sistem kapitalisme harus dilakukan pada saat yang sama dengan disertai kritik ketidakadilan gender yang mengakibatkan dimensi, subordinasi dan marginalisasi atas kaum perempuan.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa analisis gender dapat mempertajam pandangan mereka yang melihat sistem dan struktur yang telah memungkinkan gerakan feminisme dan gerakan-gerakan lain melakukan analisis dan pemecahan masalah bersama-sama.
Gerakan di atas muncul bukan tanpa alasan bahkan muak dan lelah dengan kondisi itu. Tak mudah memang mendirikan suatu gerakan dalam menentang hal yang sakral dan dianut oleh berbagai kalangan di setiap lapisan bumi ini. Kemungkinan penyebab itu diantaranya: pertama, terjadi marginalisasi (pemiskinan ekonomi utamanya di bidang pertanian yang kebijakannya sangat menguntungkan petani laki-laki dari pada perempuan) terhadap kaum perempuan walaupun tidak semuanya karena perbedaan gender. Kedua, terjadinya subordinasi pada salah satu jenis kelamin. Ketiga, pelabelan negative (stereotif). Keempat, kekerasan (violence terhadap jenis kelamin tertentu. Jika konteksnya saat ini perempuan lah sasaran kekerasan itu walaupun tidak semua seperti itu). Kelima, karena peran gender perempuan dalam mengelola domestik. Sekarang hal itu tinggalah pembenahan kedua belah pihak terutama dengan anak (termasuk masa depannya).
Semua bisa diraih sesuai keinginan yang diharapkan oleh para penggerak atas nama ibu dunia. Jika dilihat dari teori termasuk maksud-maksudnya memang memiliki kekuatan masing-masing. Tapi ketika digabungkan untuk mencapai tujuan yang disepakati, maka unsur utama para penggerak pasti akan tercapai bahkan terwujud.
Tinggal menapaki sudut mana untuk mencapai keberhasilan sebagai pengakuan bersama apalagi jika kapitalisme sendiri takut dengan gerakan ini atas nama perempuan.


Penulis : Iis Suarsih Wihandha

Daftar Pustaka
Mansour Fakih, 2010, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Hegemoni Maskulinitas dan Arah Gerakan Feminisme 0 komentar

Simone de Beauvoir dalam bukunya second sex (2003: XXV) menuliskan bahwa perempuan dianggap sebagai jenis kelamin kedua atau makhluk sekunder. Dengan kata lain bahwa perempuan dianggap lebih rendah dari laki-laki. Dengan adanya anggapan ini maka munculah  konstruk di masyarakat bahwa perempuan hanyalah makhluk yang lemah, oleh karena itu perempuan dianggap tak mampu untuk menyelesaikan masalah di ranah publik. Dengan adanya anggapan itu maka ada kecenderungan penguasaan dari pihak yang dianggap kuat terhadap pihak yang dianggap lemah. Pihak yang dianggap kuat disini adalah laki-laki dan pihak yang dianggap lemah disisni adalah perempuan. Maka ada budaya dimasyarakat kita bahwa ada penguasaan laki-laki terhadap perempuan, sehingga ada kecenderungan bahwa perempuan adalah manusia yang tertindas. Penindasan disini terjadi pada beberapa aspek, seperti rentannya perempuan mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Bahkan ada kecenderungan bahwa perempuan harus diarahkan agar mampu bersaing untuk bisa memasuki prinsip-prinsip maskulinitas.
Istilah penguasaan pihak yang dianggap kuat terhadap pihak yang dianggap lemah bisa diartikan sebagai hegemoni. Namun hegemoni sendiri memiliki pengertian yang luas, dilihat dari mana pengertian hegemoni tersebut diambil. Menurut Eagleton mengutip dari buku Bagus Takwim yang berjudul akar-akar ideologi (2009:73) hegemoni adalah pemenangan pemikiran kelas yang berkuasa lewat penguasaan basis-basis pikiran (kognitif), kemampuan kritis, dan kemampuan-kemampuan afektif masyarakat melalui konsensus yang menggiring kesadaran masyarakat tentang masalah-masalah sosial kedalam pola kerangka pikiran yang ditentukan lewat birokrasi.
Jika disandingkan dengan hegemoni maskulinitas, maka bisa di tarik kesimpulan bahwa maskulinitas sudah menjadi penguasa (hegemoni) dalam masyarakat. Dalam konstruk masyarakat tentu pemikiran maskulinitas yang mendominasi. Terlebih lagi dewasa ini perempuan cenderung mempunyai batasan dalam menyampaikan pendapat, sehingga perannya diranah publik pun terbatasi.
Sementara itu membicarakan tentang arah gerakan feminisme yang notabene terlahir karena adanya ketidakadilan yang dialami oleh perempuan. Meskipun diawal kelahiran feminis adanya perbedaan dari permasalahan yang dialami oleh kaum perempuan, sebagai contoh permasalahan ketidakadilan di Amerika berbeda dengan permasalahan ketidakadilan yang terjadi di Eropa namun esensi dari kelahiran feminis itu sama yaitu menuntut persamaan dan keadilan bagi perempuan. Seiring dengan perkembangan zaman gerakan feminis mengalami kemajuan, bahkan pada saat ini PBB sudah mengeluarkan resolusi untuk menghentikan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, dampaknya adalah  terbentuknya perundang-undangan anti diskriminasi di hampir setiap negara yang tentu saja hal ini adalah menguntungkan bagi perempuan itu sendiri.
Maka dari itu perlu adanya kesadaran seperti apa yang pernah diilustrasikan oleh Paulo Freire yaitu kaum perempuan sebagai bagian dari kaum yang tertindas perlu memiliki kesadaran kritis yakni gerakan feminis selayaknya tidak berhenti pada langkah pertama, seperti memperjuangkan hal-hal yang bersifat jangka pendek (war of maneuver). Namun gerakan feminis pun perlu melanjutkan perjuangan ideologis dan kulturalnya dengan melakukan identifikasi sehingga dapat menemukan watak ideologi maskulinitas dan membongkarnya (Fakih, 2010: 110).  

Penulis : Hamidah      
Daftar Pustaka
Bagus Takwim, 2009, Akar-akar Ideologi, Yogyakarta: Jalasutra
Mansour Fakih, 2010, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Simone de Beauvoir, 2003, Second Sex: Kehidupan Perempuan, Pustaka Promethea
 .

Gender Menurut Mansour Faqih Dalam Kajiannya Tentang Analisis Gender dan Transformasi Sosial. 1 komentar

Konsep penting yang perlu dipahami dalam rangka membahas masalah kaum perempuan adalah membedakan antara konsep seks (jenis kelamin—pen.) dan konsep gender. Pemahaman dan pembedaan terhadap kedua konsep tersebut sangat diperlukan karena alasan dari kedua konsep.
Kepentingan itu muncul untuk mengangkat persoalan-persoalan ketidakadilan sosial khususnya yang menimpa perempuan. Hal ini disebabkan karena ada kaitan yang erat antara perbedaan gender (gender differentces) dan ketidakadilan gender (gender inequalities) dengan struktur ketidakadilan masyarakat secara lebih luas. Dengan demikian pemahaman dan pembedaan yang jelas antara konsep seks dan gender sangat diperlukan dalam membahas ketidakadilan sosial.
Keberadaan gender telah ada sejak tahun 80-an tepatnya diadakan setiap diskusi pada masa perubahan sosial (D-III) abad dunia ke-3.  Kemunculan gender ini banyak diwarnai ketidakjelasan terutama kaitannya dengan emansipasi perempuan karena kodrat itulah salah satu batasannya yang diusung oleh kementrian agama maupun  Negara.
Kosa kata gender diambil dari kamus bahasa Inggris. Sedangkan untuk pengertiannya dengan seks masih dipergunjingkan seperti yang telah tersebut di atas yaitu kodrat. Hambatan lain dari ketidakjelasan pengertian di atas bahwa kontruksi secara sosial maupun kultural yang ada telah membeku di masyarakat sehingga susah untuk mencairkannya atau mungkin tidak gambang seperti sikap lemah lembut, emosional/keibuan bagi perempuan dan laki-laki biasanya berperawakan kuat, rasional, jantan, perkasa. Padahal dari sikap-sikap itulah tidak semua perempuan memiliki begitupun laki-laki tidak semua memiliki bahkan ada juga perempuan yang memiliki dua sisi sekaligus di samping lemah lembut dan di sisi lain perkasa. Kondisi tersebut menandakan bahwa sifat tersebut dapat dipertukarkan. Bahkan gender pun terjadi dalam kelas yang akan di urai pada bagian analisis gender.
Kodrat yang diusung oleh lembaga pemerintah  sengaja dibentuk, disosialisasikan, diperkuat bahkan dikonstruksi secara sosial atau kultural di masyarakat (yang mayoritas). Dari uraian ini maka timbul pertanyaan apakah di sisi lain kita tidak punya hak/wewenang/opini dalam memberlakukan yang dikonstruk secara mayoritas tersebut? Dengan pertanyaan tersebut kemudian muncul jawaban yang sekiranya relevan yaitu kita sebagai perempuan khususnya dapt memberlakukan konstruk tersebut tentunya dengan berbagai pertimbangan, maka hak itu kita jalankan (sebagai bagian dari kebebaasan genderian) seperti memunculkan kreativitas sebagai ciri khas dari identitas diri bahkan bisa menjadi motivasi untuk menunjang ke tingkat yang lebih baik lagi. Contoh kita tiru Khadijah, apa beliau tidak punya komitmen? Dan bagaimana masyarakat pada waktu itu memandang (sisi sosial, dengan gelar beliau sebagai perempuan suci oleh masyarakat pada waktu itu. Bukankah hal tersebut konstruk masyarakat? lalu apakah dengan gelar tersebut Khadijah telah melawan kodratnya sebagai perempuan atau bahakan masyarakat sendiri yang telah melanggar kodarat itu?) khadijah sebagai seorang perempuan dan bukan dari sisi kedudukan beliau sebagai seorang yang pintar dalam mengelola perdagangan dalam sektor perekonomian. Perempuan dibalik kelemah lembutan itu ternyata tersimpan keperkasaan dan sifat etrsebut terlihat ketika mereka (perempuan) merawat anak, menjaga kebersihan, mengurus keindahan rumah tangga. sekarang pertanyaannya apakah itu pekerjaan biasa? Jelas tidak bahkan pekerjaan tersebut belum tentu dikuasai oleh manusia lainnya karena pekerjaan tersebut idaklah mudah untuk dijalankan bahkan beresiko terutama dalam mendidik anak terlebih dengan kondisi zaman yang kian tidak terkontrol seperti sekarang ini. Sekali lagi apakah itu mudah? Jawabannya tidak bila bandingkan dengan laki-laki untuk laki-laki yang merasa diri paling hebat karena tulang punggung keluarga.
Kenapa semua pekerjaan itu dipercayakan kepada seorang perempuan? Karena perempuan itu lebih tertata, jika tidak percaya coba anda tanyakan kepada seorang perempuan tomboy agar dapat memberikan kepastian bahwa perrempuan itu bagaimana pun style atau modelnya tetap keinginan untuk ‘rapih’ pasti ada walaupun tidak diperlihatkan. Begitupun dengan laki-laki biasanya mereka akan betah ketika keadaan rumah rapih, bersih sehingga nyaman untuk bersantai atau merefleksikan diri.
Pertanyaan saya adalah sudahkan kita sadar bahwa kekerasan (dalam artian justifikasi atau pandangan orang banyak atau Negara dari berbagai segi yang dikategorikan ke dalam dua sisi yaitu fisik dan non-fisik) adalah pembunuh eksistensi perempuan?
Ibarat mengatakan bahwa perempuan itu adalah mutiara sedangkan laki-laki adalah besi yang bisa kita temukan di mana saja, sedangkan untuk mutiara itu sangat susah dan hanya ada di tempat atau lokasi yang tidak mudah terjangkau oleh tangan-tangan sembarangan. Itulah perempuan dibalik stereotifnya bahwa perempuan lemah lembut sekaligus perkasa dan sifat tersebut tidak terpungkiri pun dalam realitasnya.

Penulis : Iis Suarsih Wihandha



Daftar Pustaka
Mansour Fakih, 2010, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Sejarah Woman Studies Centre (WSC) 1 komentar

Berdasarkan tujuan awal WSC dalam masalah-masalah global tentang diskursus Feminisme atau Gender, maka sebagai kaum perempuan (mahasiswi dari berbagai jurusan di UIN SGD Bandung) yang memiliki ide serta tujuan yang sama, juga memelihara perhatian yang sangat besar terhadap permpuan. maka dari sini lahirlah WSC pada tanggal 22 Desember 1994 yang bertepatan dengan hari Ibu, yang merupakan organisasi intra kampus yang disebut Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang mengkaji tentang isu-isu perempuan dengan nama Woman Studies Centre (WSC) yaitu pusat kajian perempuan yang dipelopori oleh :

1. Ibu Dra. Hj. Yeni Herniana M.HUB
2. Ibu Etin Subardini
3. Bapak Prof. Dr. Afif Muhammad
4. Bapak Bambang Q Anees S.Ag

Tujuan didirikannya WSC yaitu agar terciptanya sensitivitas gender dikalangan citivas akademik UIN Sunan Gunung Djati Bandung, serta terciptanya insan-insan berkualitas dan sadar atas tanggung jawabnya terhadap kemajuan kaum perempuan baik intern dan ekstern kampus yang disesuaikan dengan potensi yang dimilikinya.